Aturan penguatan modal dan CKPN bertujuan baik untuk BPR. Tapi, melihat kondisi BPR yang belum terlepas dari tekanan, ketentuan itu menjadi tidak mudah untuk dipenuhi dengan segera. BPR perlu sentuhan relaksasi?
Tedy Alamsyah, Ketua Umum Perbarindo
MENGAWALI 2025, pelaku industri bank perekonomian rakyat (BPR) ibarat mendaki bukit terjal. Seperti burung yang kehilangan angin untuk terbang tinggi, industri ini menghadapi tantangan besar sejak pencabutan kebijakan restrukturisasi kredit pasca-Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pada April 2024. “Tabung oksigen” yang menjadi penopang pernapasan industri ini selama pandemi, kini telah menghilang, menyisakan keharusan untuk beradaptasi dengan tekanan regulasi yang makin ketat.
Tantangan utama yang membebani industri BPR saat ini adalah pemenuhan modal inti minimum (MIM) dan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti serta POJK Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Bank Perekonomian Rakyat, regulasi ini telah mencapai batas waktu akhir masing-masing pada 31 Desember 2024 dan 1 Januari 2025. Jika gagal memenuhi ketentuan ini, BPR wajib melakukan merger, akuisisi, atau mendapatkan suntikan investor baru untuk memenuhi modal inti.