Setelah putusan MK soal pembatalan polis sepihak, pelaku industri asuransi harus melakukan sejumlah penyesuaian, termasuk dalam proses underwriting, pemasaran hingga detail kontrak dan keputusan klaim. Di lain pihak, nasabah juga harus lebih memahami isi polis.
Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan perusahaan asuransi tidak bisa membatalkan klaim secara sepihak membawa konsekuensi perubahan bagi banyak pihak. Mulai dari industri asuransi, regulator, hingga nasabah. Dalam putusannya, MK tetap mengakui keberlakuan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) karena prinsip utmost good faith adalah prinsip universal yang menjadi landasan hubungan antara penanggung dan tertanggung. Prinsip ini mewajibkan tertanggung atau pemegang polis untuk memberikan informasi yang benar, lengkap, dan jujur kepada penanggung (perusahaan asuransi) mengenai objek yang diasuransikan.
Namun, MK menekankan perlunya pengaturan lebih lanjut untuk menciptakan mekanisme yang lebih adil dan transparan dalam pembatalan polis. Pengaturan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik yang merugikan, sekaligus memastikan perusahaan asuransi dapat menjalankan fungsinya secara optimal tanpa terjebak dalam klaim yang tidak sah.