KETIKA hari-hari ini kita baca biograi politik Bung Hatta dan buku antitesis pemikiran Soekarno, kita dihenyak kan pada sebuah fenomena “perlawanan kultural, mobilisasi ide kemerdeka an” dalam sebuah diskur sus yang diperjuangkan tatkala sistem kolonial dan struktur politik penjajahan begitu membelenggu.
Dari bacaan refleksif ke dalamnya, kita dibuat sadar bahwa jagat kemerdekaan bisa jadi aksi kultural tatkala aksi-aksi politis dilarang. Tidak cuma itu, kata Hatta, sebuah sistem kekuasaan bisa saja menjajah hampir semua sendi kehidupan, tapi ada ruang yang tak pernah dapat dijajah siapa pun, dan ruang itu adalah ruang kemerdekaan yang dibuat aksi kultural atau antitesis penjajahan kultu ral manakala pelakunya tidak terpuruk dalam “hipnosis” penjajahan.
Mengapa? Bagi Bung Hatta dan Bung Karno pada 1920-an, baik di Belanda maupun di Bandung, penjajah telah meracuni tidak hanya struktural membelenggu lewat struktur dan sistem ekonomi yang menindas, tetapi juga telah merasuki pembelengguan berpikir dan berbahasa. Lihat tulisan-tulisan resmi Belanda yang mencuci otak kita dengan menyatakan betapa bodoh dan tak beradabnya Inlander, sampai-sampai seluruh rakyat dihipnotis merasa memang begitu.