Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua LPS yang dikenal rasional dan bergelar doktor ekonomi, diam diam adalah “kolektor keris level sultan” dengan lebih dari 300 bilah, termasuk Kiai Sengkelat yang konon bisa menangkap kilat. Dari sebuah keris, tersirat filosofi Jawa “manunggaling kawula lan Gusti” bahwa memegang budaya bisa jadi cara paling waras untuk tetap membumi di tengah modernisasi
Sumber : Infobank
PAMOR keris diam-diam sudah mendunia. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pun telah mengakuinya sebagai warisan budaya bangsa Indonesia pada 2005. Memahami keris itu sama dengan menyelami alam pikir masyarakat Jawa. Dalam buku Suma Oriental, Tome Pires, seorang penjelajah dari Portugis, menulis kesaksiannya saat mengunjungi Pulau Jawa. Katanya, orang Jawa, kaya atau miskin, harus mempunyai keris di rumah. Tidak ada laki-laki berumur 12 hingga 80 tahun yang berani keluar rumah tanpa keris terselip di sabuk.
Keris juga menjadi pusaka keluarga, simbol status, atau simbol yang diturunkan dari ayah ke anak sebagai perwujudan keberadaan garis keturunan. Selain dikenal sebagai senjata tajam yang terhormat, di sana ada budaya dan filsafat. Bahkan, ada juga cerita kekuatan gaib yang dipercaya mendatangkan berkah, keselamatan, dan pamor, yang diyakini berasal dari Tuhan. Di balik sebilah keris dan rangkanya (warangka), juga ada relasi manusia dan Sang Pencipta. Ketika sebilah keris masuk ke dalam rangkanya, di sanalah ada simbol tentang bersatunya manusia dan Tuhan. Orang Jawa mengenal istilah “manunggaling kawula lan Gusti”.