Perjalanan industri BPR ke depan masih akan penuh tantangan dengan kualitas aset yang memerah serta persaingan ketat dengan lembaga keuangan lain yang juga bermain di pasar mikro. Tapi, peluang tetap ada bagi BPR yang mampu fokus pada segmen unggulan, memperkuat tata kelola, serta memanfaatkan konsolidasi dan digitalisasi.
SEJAK awal 2025, beban regulasi membuat langkah BPR terasa berat. Pemenuhan modal inti minimum (MIM) sebesar Rp6 miliar serta penerapan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar. Sementara itu, pelemahan daya beli masyarakat akibat efek panjang pandemi masih membayangi, membuat permintaan kredit berjalan lebih lambat dari yang diharapkan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juni 2025 mencerminkan kondisi itu. Aset industri BPR hanya tumbuh 4,71% year on year (yoy) menjadi Rp205,58 triliun, mela mbat dibandingkan dengan periode sama 2024 yang tumbuh 5,73%. Kredit yang disalurkan naik 5,75% menjadi Rp152,90 triliun, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) meningkat tipis 3,98% menjadi Rp144,89 triliun. Padahal, tahun sebelumnya pertumbuhan DPK masih di atas 4%. Jumlah BPR per Juni 2025 tercatat sebanyak 1.339 bank.