Kesepakatan tarif Indonesia-AS yang sempat dianggap deal ternyata masih perlu dinegosiasikan ulang. Dengan posisi ekonomi yang relatif kuat dan surplus dagang terhadap AS, langkah negosiasi ulang justru wajar agar tercapai keseimbangan kepentingan kedua negara tanpa bikin industri nasional kelimpungan.
KESEPAKATAN dagang Indonesia-Amerika Serikat (AS), yang sempat dikira sudah beres, pada Juli lalu, ternyata masih menyisakan banyak ganjalan. Alih-alih tinggal jalan, kesepakatan itu justru kembali dibawa ke meja negosiasi karena Indonesia menilai sejumlah poin belum adil dan berpotensi membebani ekonomi nasional. Singkatnya, untuk urusan tarif ini belum bisa santai – tadinya dikira tinggal tanda tangan dan foto bersama.
Pada Juli 2025, Indonesia dan AS sepakat menurunkan tarif resiprokal AS terhadap produk Indonesia dari 32% menjadi 19%. Tapi, penurunan tarif sebesar 13% itu disertai kewajiban yang dinilai memberatkan Indonesia. Dalam kesepakatan itu, Indonesia diminta membebaskan seluruh produk impor AS dari bea masuk, juga membeli produk energi AS senilai US$15 miliar, produk pertanian US$4,5 miliar, serta 50 unit pesawat Boeing, mayoritas berbadan besar tipe Boeing 777.